Distribusi Kekuasaan
Dalam sebuah ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan
kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan
yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam
bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk
menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga
terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
Ada tiga model distribusi kekuasaan yakni :
1. Model Elitis -> Yaitu suatu model distribusi kekuasaan yang berasumsi bahwa kekuasaan itu selalu bersifat timpang, dimana ada sedikit yang berkuasa yang disebut elit dan sebagian besar orang yang dikuasai. Model ini ada pada masyarakat yang tradisionil. Ada pada rezim-rezim yang otoriter. Tokoh pencetusnya yaitu Gatano Mosca dan Vil Fredo Pareto
2. Model Populis ( Individu ) yaitu suatu model distribusi kekuasaan yang melibatkan partisipasi rakyat dalam jumlah yang sebanyak mungkin. Model ini berasumsi bahwa setiap individu memiliki hak politik yang sama
3. Model Pluralis yaitu model pendistribusian kekuasaan yang melibatkan berbagai kelompok dalam masyarakat. Model ini lebih bertumpu pada kekuatan-kekuatan kelompok kepentingan dalam masyarakat
1. Model Elitis -> Yaitu suatu model distribusi kekuasaan yang berasumsi bahwa kekuasaan itu selalu bersifat timpang, dimana ada sedikit yang berkuasa yang disebut elit dan sebagian besar orang yang dikuasai. Model ini ada pada masyarakat yang tradisionil. Ada pada rezim-rezim yang otoriter. Tokoh pencetusnya yaitu Gatano Mosca dan Vil Fredo Pareto
2. Model Populis ( Individu ) yaitu suatu model distribusi kekuasaan yang melibatkan partisipasi rakyat dalam jumlah yang sebanyak mungkin. Model ini berasumsi bahwa setiap individu memiliki hak politik yang sama
3. Model Pluralis yaitu model pendistribusian kekuasaan yang melibatkan berbagai kelompok dalam masyarakat. Model ini lebih bertumpu pada kekuatan-kekuatan kelompok kepentingan dalam masyarakat
a. Pengertian Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian
kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian
(legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama
(Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly
Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara
memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan
balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta
mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan
adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam
arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai
tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi
pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewanang-wenangan
Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam
dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b. Pembagian
Kekuasaan Menurut John Locke
John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
c. Konsep Trias Politica Montesquieu
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang)
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang)
Konsep yang
dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu
pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
-
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan
kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti
melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar
negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
-
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup
kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk
kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan
yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
-
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa
cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima.
Kekuasaan ferderatif diberbagai
negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya
masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek
ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.
Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
-
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai
cabang kekuasaan yang meliputi:
-
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan
Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi menurut Jimly
Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai
bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan
negara.
d. Pembagian
Kekuasaan di Indonesia
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata.
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata.
Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
-
1.adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan
Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan
tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian
kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica
Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling
mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut
oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan
berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar
lembaga negara.
e. latar Belakang
Checks and Balances di Indonesia
Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih rakyat melalui Pemilu.
Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali.
Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga negaranya.
Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b. Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
c. Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
d. Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007: 139).
Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003: 19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.
Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih rakyat melalui Pemilu.
Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali.
Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga negaranya.
Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b. Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
c. Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
d. Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007: 139).
Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003: 19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.